5.4 OPTIMALISASI PRODUKSI
Adalah
hal yang lumrah dan lazim bila perusahaan dalam operasionalisasinya selalu
berusaha mendapatkan hasil terbaik terutama dalam pemanfaatan dana untuk
produksi. Ukuran dari hebatnya seorang manajer perusahaan adalah bagaimana
menggunakan dana yang dibatasi untuk menghasilkan barang secara efektif dan
efisien (bukan selalu untung). Secara teoritis dalam teori produksi yang
mempergunakan 2 variabel input bebas mengajarkan dua macam cara untuk
mengoptimalkan produksi yaitu : dengan cara Mengoptimalkan Produksi (maksimum produksi) dan Mengoptimumkan Biaya (Minimum Biaya).
5.4.1 Optimum produksi
Bila
perusahaan telah memiliki dana
untuk memproduksi, harga 2 faktor input telah diketahui dan kombinasi
faktor input telah ditetapkan maka tujuan perusahaan adalah berapa banyak
barang yang bisa dihasilkan agar bisa mencapai kondisi paling optimum. Dalam
hal ini yang menjadi kendala (constraint)
adalah biaya (ISOCOST) sedangkan
tujuannya adalah produksi (ISOQUANT),
Misalkan
diketahui total dana yang dimiliki perusahaan untuk memproduksi batu bata merah
untuk tahun 2005 adalah Rp. 1000. upah tenaga kerja/hari Rp. 45. dan diskonto
modal/1000 adalah Rp. 100. Kombinasi faktor input adalah Q = TK x M,
Kedua
fungsi atas dapat juga diselesaikan dengan cara subtitusi biasa, tapi saya
menyarankan untuk memanfaatkan cara yang terdapat dalam teori nilai guna
sebagaimana yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya (teori pilihan konsumen).
Bila menggunakan metode Lagrange
(metode ini memang sangat baik bila fungsi biayanya dalam bentuk pangkat dua
atau lebih), maka gunakan pendekatan derivative parsial sebagai berikut :
Turunkan Z terhadap masing-masing TK
dan M sebagai berikut :
Banyak
cara bisa dilakukan untuk mendapatkan nilai TK dan M, misalnya dengan
memperhatikan persamaan hasil derivasi yaitu 100M = 45TK dan persamaan kendala ISOCOST 1000 = 45TK+ 100M,
Cara praktis (perhatikan
ketentuannya):
Nilai TK dan M masukan dalam
persamaan produksi :
Q = TK x M → Q = 5 x 11,111111 = 55,555555
Berarti dengan uang sebanyak Rp.
1000 pada masing-masing harga faktor
produksi TK dan M adalah sebesar Rp. 45 dan Rp. 100, banyaknya batu bata
merah yang bisa diproduksi secara optimum adalah sebanyak 55,555555 unit.
Coba
perhatikan, bila misalkan pimpinan perusahaan tetap ingin memproduksi sebanyak
55,555555 unit akan tetapi hanya menggunakan tenaga kerja sebanyak 5 orang,
maka banyaknya modal adalah :
(ingatlah asas trade off dalam MRTS,
dalam kasus ini karena mengurangi TK maka akan dan harus memperbesar M). Akan
tetapi nilai ini bila dialokasikan dalam fungsi biaya hasilnya ternyata : C =
45(5) + 100(11,111111) = 225 + 1111,1111 = Rp. 1336,1111, padahal dana hanya
Rp. 1000, artinya bila pimpinan perusahaan ingin mengurangi tenaga kerja
sebanyak 6 orang maka konsekwensinya ia harus menambah dana sebesar Rp.
336,1111. Akan tetapi karena dananya hanya Rp. 1000, maka kombinasi tenaga
kerja sebanyak 11 orang dengan modal sebanyak 5 (bisa 5 unit mesin, 5 bulan
masa pinjam atau lainnya)adalah paling optimum. Hal ini bisa dibuktikan dengan
menggunakan ketentuan :
Jadi benar (secara matematis) bahwa
produksi sebanyak 55,555555 unit dengan menggunakan tenaga kerja dan modal
masing-masing sebanyak 11 dan 5 telah optimum (bukan extremum yaitu memiliki
titik maksimum atau minimum) dan produksi inilah yang paling optimum (pas
antara biaya yang disediakan dengan kebutuhan jumlah tenaga kerja dan modal
untuk memproduksi barang sebanyak 55,555555 unit tersebut).
5.4.3. ELASTISITAS
PRODUKSI UNTUK 1 FAKTOR INPUT (1 FAKTOR PRODUKSI)
Untuk
produksi yang menggunakan 1 faktor input secara teoritis telah dijelaskan
bagaimana strategi penggunaan tersebut yitu dengan memperhatikan MP dan AP.
Bila MP = 0, maka sebaiknya tidak perlu menambahkan factor input lagi.
Bila MP = AP maka produksi relatif sudah mapan/stabil, dengandemikian produksi
tidak perlu menambahkan factor input lagi? Tapi menentukan nilai MP = 0
terkadang relative sulit bila tidak mengektrapolasinya dengan memanfaatkan
model dan gaya matematika (teknik derivasi), lagi pula hal ini relative
mengandung resiko karena jarang ada perusahaan bisa menentukan kapan tambahan
factor input tidak memberikan tambahan apa-apa pada produksi